Penulis merekam ulang objek jalan yang sama menggunakan kamera telepon seluler, juga print screen
jalan dari tayangan video dan street view
images google maps. Tujuannya untuk melihat perkembangan jalan di Subang
selatan.
Atas: Potret Lanskap Batas Kabupaten Subang-Bandung Antara
Tahun 1920-1935 (Sumber: Tropenmuseum) Bawah: Potret Lanskap Batas Kabupaten Subang-Bandung
Tahun 2020 (Sumber: Koleksi Pribadi) |
Potret jalan zaman dahulu pada artikel ini, fokus utamanya
mungkin bukan jalan, tetapi pemandangan alam atau kegiatan orang-orang yang ada di jalan pada masa itu. Jalan hanya salah satu
subjek potret saja.
Potret jalan di Subang selatan merupakan gambar jalan yang terdapat di sekitar
Tangkuban Parahu, Cicenang, Ciater, Jalancagak, dan Kasomalang.
Kenapa hanya jalan di tempat itu yang ditulis pada artikel
ini? Padahal wilayah Subang selatan itu sangat luas. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
penulis dalam mencari potret-potret dimaksud di
internet.
Atas: Print Screen Jalan
Cicenang Tahun 1970 (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=HKnioCiYulk) Tengah: Gambar Jalan Cicenang Tahun 2014
(Sumber: Sreet View Google Maps) Tengah: Potret Jalan Cicenang Tahun 2018 (Sumber: Koleksi Pribadi) Bawah: Potret Jalan Cicenang Tahun 2020 (Sumber: Koleksi Pribadi) |
Awal perkembangan jalan diberbagai wilayah secara umum masih
merupakan jalan setapak atau jalan tanah. Peradaban kuno telah berhasil
membangun teknologi jalan yang lebih “modern”.
Modern di sini dapat diartikan bahwa jalan tersebut tidak
hanya dapat dilintasi dengan berjalan kaki, tetapi juga dapat dilewati
kendaraan beroda yang ditarik dengan kuda. Dikutip dari https://www.indonesiana.id/read/125396/sejarah-jalan-raya-di-indonesia
Kutipan di atas sejalan dengan pendapat seorang warga Ciater, beliau mengatakan “Dahulu
pada masa kolonial, jika perusahaan mau menjual komoditas ekspornya, maka komoditas tersebut harus dikirim ke Subang
terlebih dahulu.”
“Pengiriman komoditas dari Ciater ke Subang membutuhkan waktu
berhari-hari, sebab diangkut menggunakan
kendaraan beroda yang ditarik dengan kerbau, lembu atau kuda.”
Selanjutnya warga tersebut menjelaskan,
“Supaya gerobak berjalan lancar dan tidak
terperosok ke dalam tanah berlubang, maka harus ada petugas yang merapikan butiran-butiran batu di jalan sesaat sebelum dilewati roda gerobak.”
Potret Pabrik di Subang Antara Tahun 1900-1920 (Sumber:
Tropenmuseum) |
Pada potret di atas, tampak beberapa gerobak terparkir di depan bangunan
bertuliskan SOEBANG, tetapi tidak terlihat
gambar lembu atau kuda. Jangan-jangan gerobak ditarik dan didorong menggunakan
tenaga manusia. Astagfirullohaladzim.
Pada potret di bawah, tampak suasana jalan di pagi hari. Boleh
jadi jalan tersebut berada di Ciater, tepatnya di depan Masjid As Sa’adah
sekarang. Permukaannya terlihat
masih berbatu-batu
Pembangunan jalan masa lampau di Pamanoekan
en Tjiasem Landen (kabupaten Subang sekarang) ada yang dikerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda, juga ada
yang digarap oleh tuan tanah. Seperti dikutip dari buku penyempurnaan
naskah sejarah kabupaten Subang di bawah ini.
Mengerjakan penduduk laki-laki yang berumur 14 s.d 50 tahun selama satu hari pada tiap-tiap minggu dengan memberi makan yang cukup untuk mengerjakan pembuatan atau perbaikan jalan adalah salah satu hak dan wewenang tuan tanah P & T Lands.
Salah satu hak dan
wewenang tuan tanah P & T
Lands tersebut di atas diatur oleh Stbl No. 19 tanggal 28 Pebruari tahun
1836. Kata Stbl singkatan dari staatsblad
(bahasa Belanda) artinya lembaran negara.
Potret
Tempat Pengolahan Kulit Kina di Ciater Antara Tahun 1920-1935 (Sumber: Tropenmuseum) |
Pada potret di
atas, tampak ada bangunan yang ada cerobong
asapnya, itu adalah tempat pengeringan kulit kina. Bahan utama obat malaria
tersebut harus di panggang/ di oven terlebih dahulu sebelum diekspor. Selanjutnya,
tempat itu lebih dikenal dengan stanplat Ciater.
Atas: Potret Stanplat
Ciater Tahun 2015 (Sumber: Koleksi
Pribadi) Bawah: Gambar
Stanplat
Ciater Tahun 2015 (Sumber: Sreet View Google Maps) |
Pengaspalan permukaan jalan di Ciater sudah dimulai sejak tahun 1950, seperti ditunjukkan oleh dua potret di bawah. Namun penulis tidak mengetahui letak jalan pada potret yang pertama, sehingga tidak dapat membuat gambarnya di masa kini.
Atas: Potret Jembatan Antara Kasomalang-Limaratus (Sumber: Tropenmuseum.nl) Bawah: Potret Jembatan Antara Kasomalang-Limaratus Tahun 2017 (Sumber: Koleksi Pribadi) |
Sebagian deskripsi potret di bawah tertulis, Nederlands infanterie op weg naar Djahan Tjagak naar Soebang. Jika diterjemahkan menggunakan Bing Translate artinya, Infanteri Belanda dalam perjalanan ke Djahan Tjagak ke Soebang . Barangkali Djahan Tjagak itu dari kata Jalancagak.
Potret Infanteri Belanda Melalui Daerah
Jalancagak Tahun 1947 (Sumber: Gahetna.nl) |
Penulis tidak dapat merekam ulang jalan pada potret
di atas, lantaran tidak mengetahui dengan pasti letak jalannya.
Alhamdulillah. Kami ucapkan terimakasih kepada orang-orang terdahulu yang telah berjasa membuka hutan belantara sehingga kini menjadi jalan raya. InsyaAlloh jalan tersebut bermanfaat bagi anak bangsa dalam meraih cita-citanya, menjadi generasi penerus bangsa Indonesia. Aamiin.
Pembaca yang budiman,
jika dalam artikel ini terdapat kesalahan, silahkan tulis tanggapan pada kolom
komentar di bawah. Pendapat dan masukkan dari pembaca akan membantu menyempurnakan
isi artikel ini. Aamiin.
Daftar Sumber:
Sejarah Jalan Raya di
Indonesia, diakses dari: https://www.indonesiana.id/read/125396/sejarah-jalan-raya-di-indonesia. Selasa, 6 April 2020, pukul 17.21
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Subang. 2002. Penyempurnaan Naskah Sejarah Kabupaten Subang. Subang.
Alhamdulilah sukses Pa semoga dalam membuat karya selalu di beri kemudahan oleh Alloh
BalasHapusLuar biasa, karya nyata, dokumentasi luar biasa. Sukses sehat selalu.pa Enjang....wilujeng
BalasHapus